Kebebasan Kaum Muslim Di Francis Semakin Dipersempit
Cahaya Islam TV - Agama Islam di Negara Eropa merupakan agama minoritas yang seringkali mendapatkan sikap diskriminasi dari beberapa warganya hingga ke pemerintahannya. Hal ini tidak jauh halnya dengan negara Prancis yang nampaknya semakin memperlihatkan hal tersebut. Negara yang terkenal dengan semboyan kebebasan, kesetaraan, hingga persaudaraannya ini, akhir-akhir ini membatasi pergerakan umat islam di prancis dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan yang melewati batas toleransi dalam beragama.
Hal ini dimulai dengan ditutupnya beberapa masjid dengan alasan yang tidak masuk akal. Penutupan inilah kemudian mengakibatkan kebebasan beragama kaum muslim di negara tersebut merasa terganggu. Bahkan kebijakan-kebijakan yang muncul yang mempersempit ruang gerak kaum muslim di Prancis dari ruang publik kini telah menjadi norma kehidupan sehari-hari.
Dalam sebuah Artikel yang ditulis seorang mengenai Islamfobia dinilai Seorang peneliti bernama Haci Mehmet Boyraz dari Foundation for Political, Economic dan Social Research (SETA) sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari negara Prancis. Contoh nyata ada beberapa pelanggaran terhadap umat Islam yang membatasi kebebasan yang dianggap mempersempit gerak kaum muslim Prancis diantaranya sebagai berikut:
1. Dibuatnya Hotline “Whitleblowing”
Hotline “whitleblowing” adalah sebuah layanan yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri Prancis pada tahun lalu yang didirikan dengan tujuan untuk membrantas “radikal islam” dinegara tersebut.
Sistem kerja layanan inipun ditunjukkan untuk warga Prancis yang mengetahui atau mencurigai adanya kegiatan yang mengarah kearah radikalisasi islam yang ada dilingkungan sekitar untuk dapat segera melaporkannya melalui layanan saluran telepone tersebut. Jelas langkah inipun kemudian dinilai secara tidak langsung menggambarkan semua muslim Prancis berpotensial sebagai penjahat.
2. Ditutupnya LSM Komunitas Muslim Terbesar di Prancis
Penutupan salah satu organisasi non-pemerintah (LSM) yaitu Collective Against Islamophobia yang merupakan komunitas muslim terbesar di Prancis pada tahun lalu berdasarkan keputusan Dewan Menteri, menandakan semakin jelasnya pembatasan kebebasan ruang gerak kaum muslim di negara tersebut.
3. Lahirnya Undang-Undang Penghormatan Terhadap Prinsip-prinsip Publik oleh Parlemen Prancis
Penyetujuan lahirnya “Undang-Undang Tentang Prinsip Yang Memperkuat Penghormatan Terhadap Prinsip-Prinsip Publik” oleh Parlemen Prancis sebagai dasar hukum yang kuat yang disiapkan untuk memungkinkan pemerintah masuk dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan pribadi kaum muslim negara Prancis, tentu akan membuat kebebasan kaum muslim di negara tersebut semakin sempit dan terkekang.
4. Penutupan 92 Masjid di Negara Prancis Sejak Tahun 2020
Menteri dalam negeri Gerald Darmanin memberikan pengakuan mengejutkan perihal penutupan yang dilakukan sejak September 2020 pada 92 Masjid yang ada dari jumlah 2500 yang tersebar di negara tersebut. Penutupan inilah dinilai sebagai langkah yang terus membuat kaum muslim kebebasan beragamanya semakin direnggut.
Selain beberapa kebijakan diatas, ada isu kebijakan lainnya yang diambil sebagai langkah pengintimidasian dan peminggiran muslim Prancis yang hadir selama masa jabatan Presiden Emmanuel Macron yaitu diataranya dibuatnya rekayasa sosial yang menyebutkan Muslim Prancis sebagai pencerminan dan pemahaman sekularisme dari atas hingga kebawah.
Proyek yang dicipatakan langsung oleh pemimpin Prancis yaitu Presiden Macron ini bertujuan untuk mebuat lemah nilai-nilai sui generis Islam dan mengasimilasi umat Islam dibawah nama yang disebut sebagai kohesi sosial. Selain itu pernyataan Macron yang tidak berdasar akhir-akhir ini mengenai "Islam perlu direstrukturisasi” dan “Islam menuju Krisis” juga dapat dinilai sebagai langkah perpanjangan dari proyek Macron sebelumnya.
Kebijakan-kebijakan yang sering diputuskan langsung oleh Pemerintahan Macron terhadap umat Islam Prancis dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini juga dianggap Mehmet Boyez sebagai upaya dan keinginan Macron untuk membangkitkan kembali kepopularitasanya yang terpuruk akibat hilangnya dukungan masyarakat ditengah situasi dan kondisi seperti sekarang ini.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan rencana Macron yang ingin mencalonkan dirinya kembali ditahun depan, yang terjebak dalam situasi sudut politik masyarakat dalam negaranya. Macron menilai segala sesuatu yang berhubungan dengan masa depan politiknya dianggap tidak berjalan dengan baik. Lantas kemudian pemikiran “anti-islamisme” yang kini menjadi isu zaman dalam politik negara-negara Eropa, dijadikan alat untuk membalikkan situasi seperti sekarang ini.
Peranan pers nasional dan tokoh-tokoh ekstrem kanan juga disebut sebagai salah satu peran penting dalam memberikan fasilitas untuk seluruh kebijakan yang dibuat terhadap kaum muslim di Prancis, dengan peran utama yaitu pemerintahan Macron.
Pergerakan Islamofobia secara terus menerus disuarakan oleh ekstremis sayap kanan diantaranya Marine Le Pen atu Eric Zemmour. Mehmet Boyez menyebutkan Islamfobia yang kini menjadi isu yang sedang banyak dibicarakan di negara Prancis, tentunya dipicu oleh beberapa berita pers yang memiliki peran penting dalam menyudutkan kaum muslim sebagai ancaman di negara tersebut.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Komisi Penasihat Nasional Hak Asasi Manusia, tindakan anti-semit menurut hingga 51 persen sedangkan tindakan anti-islam meningkat 52 persen pada tahun lalu. Peningkatan angka pada tindakan anti-islam ini jelas memperlihatkan adanya pergantian anti-semit dengan islamfobia yang sedang menjadi isu mutakhir di negara tersebut.
Jelas angka inilah yang memunculkan spekulasi dan isu tentang terancamnya keamanan keberadaan kaum muslim di negara Prancis, hal ini bahkan diungkapkan sendiri oleh pejabat resmi pemerintahan Prancis.
Posting Komentar