Kisah Imam Al Ghazali dan Dakwah Memerangi Syi’ah
Imam Al-Ghazali | arrahim.id |
Kelahiran dan Masa Mudanya
Imam Abu Hamid Al Ghazali lahir di Kota Thusi, yang saat ini terletak di negara Iran pada tahun 450 hijriyah. Ayahnya seorang fakir dan saleh, yang tidak makan kecuali dengan hasil keringatnya sendiri. Dia berprofesi sebagai pemintal benang wol dan menjualnya di tokonya di Thusi. Dia senantiasa berupaya untuk berinteraksi dengan para ulama di sela-sela waktunya dan tidak segan segan untuk mengunjungi dan melayani mereka. Ia berusaha berbuat baik kepada mereka dan memahami apa yang mereka ajarkan. Apabila mendengar nasihat mereka, maka dia menangis dan menghadap Allah dengan sayap kerendahan, dan berharap mendapatkan anugerah Allah dengan seorang anak yang ahli fikih dan memberikan pencerahan. Allah pun menganugerahkan dua orang putera kepadanya bernama Abu Hamid dan saudaranya Ahmad.
Ayahnya meninggal dunia ketika Abu Hamid masih kecil dan belum mencapai usia baligh. Adapun ibunda Abu Hamid, maka tetap hidup hingga melihat terbitnya matahari puteranya di ufuk cakrawala keagungan dan mencapai kedudukan tinggi dalam mahkota intelektual pada masa tersebut.
Pada masa mudanya, Al Ghazali belajar fikih di tempat kelahirannya, di Thusi, kepada gurunya Ahmad bin Muhammad Ar Razikani. Guru pertamanya dalam bidang fikih adalah Yusuf An Nassakh. Setelah Al Ghazali memperoleh sedikit ilmu fikih di kampung halamannya, maka ia melakukan perjalanan ke Jurjan, di mana di sana ia bertemu dengan gurunya Abu Nashr Al Ismaili. Beliau rajin menulis pelajaran yang didapat dari gurunya itu sebagai tahapan pertama dalam proses belajar mengajar. Ia kemudian kembali ke Thusi.
Berguru Kepada Imam Al Haramain
Imam Al Ghazali kemudian melakukan perjalanan ke Naishabur, ibukota pemerintahan Kesultanan Saljuk pada waktu itu, dan kota ilmu kedua setelah Baghdad, untuk mendampingi
Imam Al Haramain, seorang ulama yang terkenal akan kecerdasannya dan keagungannya dalam ilmu pengetahuan. Imam Al Haramain pun merasa kagum dengan kecerdasan intelektual dan pemahaman Al Ghazali terhhadap pengertian-pengertian rumit. Teman-temannya yang berjumlah 400 orang mendukungnya sehingga ia pun menjadi pembantu guru besar dan wakilnya.
Ketika Imam Al Haramain meninggal pada tahun 478 H, Imam Al Ghazali keluar ke Al Mu’askar untuk menemui Perdana Menteri Saljuk, Nizham Al Mulk. Majelis Perdana Menteri merupakan tempat berkumpulnya ulama dan markas mereka. Majelis-majelis dan bahkan penjamuan makan tidak lepas dari perdebatan tentang masalah fikih dan saling berargumentasi.
Dalam kesempatan tersebut, Imam Al Ghazali berdebat dengan sejumlah ulama besar di hadapan Perdana Menteri Nizham Al Mulk hingga berhasil mengalahkan musuhnya dan memperlihatkan argumentasinya. Akhirnya mereka pun mengakui keutamaannya dan mereka pun menghormatinya. Hingga kemudian ia diangkat sebagai guru besar di madrasah An Nizhamiyyah di Baghdad. Dan itu merupakan harapan dan tujuan para ulama, dimana mereka berlomba –lomba untuk mendapatkannya.
Mengajar di Madrasah An Nizhamiyyah di Kota Baghdad
Imam Al Ghazali sampai di Baghdad pada tahun 484 Hijriyah dalam usia yang tidak lebih dari 34 tahun. Sangat sedikit ulama yang mampu menduduki jabatan terhormat ini dalam usia yang masih muda. Dia terus mengajar di madrasah An Nizhamiyah. Dengan etikanya yang baik, keutamaannya yang sempurna, kelancaran bahasanya, kecermatan analisa dan kelembutannya membuat kagum masyarakat dan mencintainya.
Pada masa-masa tersebut, Imam Al Ghazali telah mampu mencapai tangga-tangga popularitas dan kehormatan. Kenikmatan dunia tampak kerdil dan tunduk kepadanya. Beliau banyak mendapatkan harta kekayaan dan popularitas serta nama yang senantiasa dikenang, beliau juga mendapatkan kehormatan dengan pangkat dan jabatan. Meskipun demikian, beliau tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Beliau tidak segan-segan mempelajari ilmu pengetahuan yang rumit dan buku-buku yang ditulis tentangnya, dimana kemudian hal ini
akan memberikan andil besar dalam menimbulkan perubahan drastis pada arah pergerakan kompas kehidupannya di kemudian hari.
Imam Al Ghazali meninggalkan Baghdad pada bulan Dzulqa’dah tahun 488 hijriyah untuk berhaji dan kemudian menuju Syam. Beliau menetap disana selama 10 tahun lamanya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di Baitul Maqdis untuk berkhalwah dan mengisolasi diri, melakukan riyadhah dan pengendalian hawa nafsu, dan berupaya mensucikannya, serta membersihkan hati untuk berzdikir kepada Allah.
Memerangi Dakwah Syi’ah Bathiniyyah Ismailiyyah dengan Karya-karyanya
Jika salah satu hasil dari pendirian dan pengembangan madrasah madrasah An Nizhamiyyah adalah melapangkan jalan bagi kejayaan madzhab sunni, maka diantara pengaruhnya yang paling nyata adalah berkurangnya pengaruh ajaran dan pemikiran Syi’ah. Terutama setelah munculnya berbagai karya tulis yang melawan mereka dari madrasah madrasah ini. Imam Al Ghazali merupakan tokoh intelektual terkemuka yang melaancarkan serangan mematikan mematikan terhadap madzhab Syi’ah terutama Al Bathiniyah Al Ismailiyah.
Hanya saja yang mengagumkan dari Imam Al Ghazali dalam melaksanakan amanat tersebut adalah keberanian beliau melancarkan serangan terhadap Syi’ah Ismailiyah dimana pada saat itu para juru dakwah madzhab ini tersebar di Persia dan ancaman bahaya mereka semakin nyata hingga mereka membangun benteng-benteng dan pertahanan, serta mengancam keselamatan masyarakat. Mereka tidak segan segan melancarkan berbagai pembunuhan dalam area yang luas sehingga mencakup para tokoh politik dan kaum intelektual. Dan yang menjadi sasaran utama mereka adalah Perdana Menteri terkemuka Kesultanan Saljuk, yakni Nizham Al Mulk.
Imam Al Ghazali melancarkan serangan ini berdasarkan instruksi pemerintahan dan ditambah dengan keinginan Imam Al Ghazali agar dunia Ahlussunnah mampu melaksanakan tugasnya membela dan mempertahankan islam yang sejati.
Ini merupakaan kerjasama yang harus menjadi teladan, dimana upaya pemerintahan dan kesungguhan bertemu dalam upaya mewujudkan berbagai tujuan islam sejati melalui
berbagai lembaga yang bermanfaat bagi masyarakat luas, negara, dan peradaban. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan madrasah madrasah An Nizhamiyyah, yang merupakan buah karya dan pemikiran Perdana Menteri Nizham Al Mulk dalam upaya membendung dan melawan pemikiran Syi’ah Ismailiyah.
Pemerintahan daulah Al Fathimi membentengi diri dengan filsafat dan memperlihatkan diri dengan baju agama dan politik. Adapun Syi’ah Al Bathiniyah Al Ismailiyah, maka mereka menyusup di tengah-tengah komunitas masyarakat untuk melepaskan racun racun mematikannya.
Dunia islam ketika itu, tepatnya pada akhir abad kelima hijriyah, tiada yang lebih berkompeten melancarkan bantahan dan serangan terhadap keyakinan dan pemikiran mereka, mengungkapkan rahasia-rahasia dan jati dirinya, serta menghancurkan pondasi dan kerngka pemikirannya dibandingkan Imam Al Ghazali.
Wafatnya Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali wafat pada tanggal 19 Desember 1111 masehi dan dikebumikan di desa Thabran, di kota Thusi. Proses wafatnya yang tenang, damai, dan indah mencerminkan kualitas kehambaannya hidup. Kepergiannya ditangisi para ulama, murid-muridnya, serta jutaan umat islam. Imam Al Ghazali mewariskan ratusan karya tulis, teladan, dan keilmuan yang tak lekang oleh zaman.
Ditulis oleh: Muhammad Apria Iswara
Referensi: Ash Shallabi., A. 2019. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Bani Saljuk. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
Posting Komentar