Inspiratif
Renungan
Hikmah Dibalik Kematian Seorang Anak yang Membawa Satu Keluarganya Masuk Islam
Daftar Isi [Tampilkan]
Cahaya Islam - Hidayah kepada seseorang bisa Allah berikan kepada hambanya melalui sebuah ujian yang dibalut dengan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan seperti halnya kehilangan. Hal ini mungkin yang dialami satu keluarga di Bandung, Jawa Barat yang memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah kematian anak bungsunya bernama Rio. Lantas bagaimana cerita pergolakan batin yang dialami Martono dan keluarga untuk bisa mendapatkan hidayah besar ini dalam hidupnya? Cahaya Islam TV akan menuliskannya dan menceritakannya untuk anda, berikut ini:
Cerita diawali dengan sosok Martono yang jatuh cinta kepada pujaan hatinya bernama Agnes. Rasa cinta Martono kepada Agnes, Martono curahkan dengan niatnya untuk melamar gadis pujaannya tersebut. Namun langkah Martono nampaknya tidak semulus itu, karena perbedaan keyakinan yang mereka anut. Diketahui Martono beragama Islam, sedangkan Agnes adalah seorang perempuan Katolik yang taat. Keluarga Agnes merupakan penganut Katolik yang rutin beribadah ke gereja di setiap minggunya. Sangkin taatnya Agnes, kepada keyakinannya tersebut bahkan agnes menolak dengan tegas lamaran Martono.
Dengan penuh keyakinan Agnespun mengatakan “Cinta saya terhadap Yesus Kristus melebihi cinta saya terhadap manusia” ujar Agnes saat itu. Jelas ketegasan yang dimiliki Agnes itupun menandakan ketaatan Agnes dan keyakinan Agnes terhadap agamanya sehingga hal ini justru membuat Iman Martono sebagai seorang muslim tergoyahkan. Diketahui Martono adalah seorang muslim, namun Martono jarang mengerjakan sholat, mengaji, bahkan ibadah lainnya layaknya yang dikerjakan dan diamalkan kebanyakan muslim lainnya.
Martonopun kemudian berhasil menikahi Agnes dan memutuskan untuk berpindah keyakinan mengikuti agama istrinya Agnes yaitu Katolik.
Pernikahan Martono dan Agnespun digelar tanggal 17 Oktober tahun 1982 di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah. Setelah menikah dan berhasil menyelesaikan kuliahnya di salah satu perguruan di Yogyakarta, Martono dan Agnes kemudian memutuskan untuk berangkat ke Bandung dan tinggal di sebuah rumah di salah satu kompleks di perumahan wilayah Timur kota Bandung.
Kebahagianpun nampaknya terus menghampiri keduanya seusai menikah. Merekapun kemudian dikarunia tiga orang anak yakni si sulung Adi, anak tengah Icha, dan si bungsu Rio.
Martono dan Agnespun merupakan jemaat Gereja yang aktif di lingkungan barunya. Iapun rajin beribadah setiap minggunya di Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung bersama warga katolik lainnya di lingkungan rumahnya. Selain aktif di Gereja, Martono juga diketahui memiliki jabatan tinggi di perusahaan tempat ia bekerja yaitu menjabat sebagai seorang kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.
Ketaatan dan keaktifan mereka sebagai seorang katolik, membuat Martono dan Agnes serta teman-temannya yang sama-sama katolik, membuat penggalangan dana dari tetangga-tetangga sekitar rumahnya yang beragama katolik, dan menggunakan uang tersebut untuk membeli sebuah rumah dan menyulapnya menjadi sebuah gereja kemudian menjadikan tempat tersebut sebagai tempat ibadah untuk mereka.
Namun keputusan Martono menjadi seorang Katolik tidak membuatnya lupa akan tugasnya sebagai seorang anak yang masih memiliki kedua orang tua beragama Islam.
Sebagai bakti dan rasa cintanya kepada kedua orang tuanya, pasangan suami istri inipun kemudian memberangkatkan ayah dan ibunda Martono ke tanah suci Mekkah untuk melaksanakan rukun islam yang kelima yaitu berhaji.
Tahun demi tahun kebahagian keduanyapun semakin terasa. Keluarga harmonispun bahkan pantas disematkan untuk keluarga Martono dan Agnes. Bahkan Martono dan keluarga dilimpahkan kecukupan yang berlimpah dari hidupnya. Hingga pada suatu hari kejadian yang tidak mengenakan menghampiri kehidupan keluarga mereka.
Saat itu si bungsu Rio diberikan cobaan sakit dari yang maha kuasa. Panas tubuh Rio yang tinggi bahkan tidak kunjung turun saat itu membuat keduanya memutuskan untuk membawa Rio ke sebuah rumah sakit Kristen terkenal di Wilayah Bandung Utara. Dokterpun kemudian dengan cepat memeriksa kondisi Rio dan mendiagnosa Rio mengalami kelelahan. Hal ini tentunya membuat Agnes sebagai seorang Ibu merasa khawatir dan gelisah dengan keadaan anak bungsunya tersebut.
Saat dipindahkan ke ruangan ICU, kondisi Rio masih terlihat sangat lemah. Rio kemudian meminta Ayahnya Martono untuk memanggilkan Ibundanya yang tengah menunggu di luar ruangan.
Kemudian Martonopun keluar dan meminta sang istri Agnes untuk masuk kedalam ruangan sesuai permintaan anak bungsunya itu. Sayangnya permintaan tersebut diabaikan oleh Agnes seakan Agnes sudah tahu kondisi putra bungsunya tersebut, iapun kemudian mengatakan kepada suaminya “Saya sudah tahu” kata Agnes.
Mendengar perkataan sang istri kemudian Martono kembali masuk ke ruangan tersebut dengan rasa heran dan pertanyaan demi pertanyaan menggelayuti benaknya.
Didalam ruangan tersebut, Riopun kemudian berkata “Tapi sudahlah, biar papah saja, tidak apa-apa untuk Rio. Pah hidup itu hanyalah 1 centi, disana tidak ada batasnya” ujarnya.
Sontak perkataan anak bungsunya tersebut membuat Martono merasa takjub dan mengejutkan. Anak mungil yang kini terkulai lemah dikasur rumah sakit itu mengeluarkan nasihat kebaikan yang dikeluarkan mulutnya layaknya orang dewasa yang paham akan agama.
Hari telah beranjak sore kala itu. Sore itu Rio kembali berucap kepada ayahnya dan merengek untuk meminta pulang dari rumah sakit, “Pah Rio ingin pulang” Ucap bocah mungil tersebut.
“Ya nanti kalau sudah sehat, nanti Rio bisa pulang sama mamah sama papah” Jawab Martono lembut.
“Tidak pak, Rio maunya pulang sekarang. Papah Mamah tunggu Rio di pintu surga” kata Rio setengah memaksa.
Belum hilang rasa keterkejutan Martono, tiba-tiba Martonopun mendengar bisikan-bisikan yang meminta Martono dan menyuruhnya untuk membimbing Rio membacakan dua kalimat syahadat kepada putra bungsunya tersebut. Iapun merasa bingung dan kaget dengan bisikan-bisikan yang didengarnya itu. Namun perlahan demi perlahan Martono membantu dan mulai menuntun Rio untuk membaca dua kalimat syahadat, hingga anak bungsunya tersebut berlinang air mata.
Walau telah berpindah keyakinan menjadi Katolik, namun Martono masih hafal melantunkan dua kalimat syahadat karena sebelumnya Martono adalah seorang muslim. Tepat saat sayup-sayup suara adzan maghrib mulai terdengar, Riopun menghembuskan nafas terakhirnya dan telah dinyatakan meninggal dunia. Jenazah Riopun kemudian disemayamkan di rumah duka. Peristiwa anehpun kini dialami Agnes. Saat Agnes masih terkulai lemah didepan jenazah anak bungsunya tersebut, Agnes mulai mendengar suara bisikan Rio “Mah, saya tidak ingin memakai jas, saya ingin dibalut kain kafan putih saja”
Berdasarkan saran dari seorang muslim yang datang melayat kala itu, bahwa bisikan yang didengar Agnes merupakan pertanda Rio ingin disholatkan dan dikuburkan secara agama islam atau sebagaimana muslim semestinya. Setelah melalui musyawarah dan perdebatan demi perdebatan diantara keluarga yang ada, jenazah Rio kemudian dikenakan pakaian, celana, dan sepatu putih lalu disholatkan.
Walau begitu karena banyaknya saran dari keluarga besar Riopun kemudian tetap dikebumikan di pemakaman katolik. Jenazah Riopun pada akhirnya dimakamkan di pemakaman khusus katolik di Cimahi, Bandung yaitu di kerkov.
Sepeninggalan anak bungsunya tersebut, Agnes lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdiam diri. Hingga suatu hari ia kembali mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Pada suatu malam saat Agnes tertidur, Agnes di bangunkan oleh suara seorang lelaki yang berucap “Bukalah Alqur’an Surat Yunus”.
Setelah mendengar bisikan malam itu, kemudian Agnespun berusaha untuk mencari tahu tentang surat Yunus. Ia bahkan menanyakan ke teman-temannya yang beragama Islam mengenai surat tersebut namun sayangnya temannya tidak ada yang tahu makna kandungan dari surat tersebut. Kemudian Agnes meminjam Alqur’an dari sepupunya, dan mencoba membacanya berulang-ulang, namun sayangnya dirinya belum juga menemukan jawaban atas apa yang Agnes maksud.
“Inginmu apa Tuhan?” protesnya sembari setengah berteriak, menangis, hingga tersungkur di atas lantai rumahnya.
Dinginnya dinding lantai rumahnya tersebut tak sengaja membuat hatinya berangsur membaik, dan dengan spontan berkata “Astaghfirullah”
Kemudian dengan penuh perjuangan akhirnya Agnes menemukan jawaban makna dibalik surat Yunus ayat 49, yang berbunyi:
“Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Banyaknya peristiwa demi peristiwa aneh yang dialami Agnes setelah kematian Rio membuatnya mulai giat mempelajari agama Islam lewat beberapa buku yang dibacanya. Hingga pada suatu hari perempuan yang taat dengan agamanya yaitu Katolik ini memutuskan untuk menjadi seorang muslim, “ Ya Allah, semoga engkau menerima saya sebagai seorang muslim, saya tidak ingin diislamkan oleh orang lain” ucapnya.
Setelah memutuskan untuk menjadi seorang muslim, nampaknya Agnes tidak langsung memberitahukan hal ini kepada suaminya Martono. Ia masih sembunyi-sembunyi mengerjakan sholat. Sementara itu sang suami Martono masih sangat rajin pergi ke gereja untuk melakukan ibadah Katolik.
Setiap Martono mengajak Agnes ke Gereja, ajakan tersebut selalu ditolak oleh Agnes dengan segala alasan yang ada. Hingga suatu malam Martono terbangun karena mendengar tangisan seorang perempuan.
Ketika berupaya mencari asal-usul tangisan tersebut, betapa terkejutnya Martono saat itu melihat istri kesayangannya tersebut sedang bersujud dengan memakai jaket, celana panjang, dan syal yang menutup rapat aurat tubuhnya.
“Kok mamah sholat?” Tanya Martono dengan ekspresi kaget.
“Maafkan mamah, pah. Papah saya tinggalkan, dan Saya duluan” Ucap Agnes.
Agnes merasa pasrah dengan dirinya yang ketahuan tengah mengerjakan sholat oleh suaminya tersebut. Apapun resikonya sudah ia pikirkan secara matang-matang. Semenjak kejadian tersebut, Martonopun akhirnya kembali menjadi muslim dan kembali memeluk agama Islam.
Pada suatu hari tepatnya saat tanggal 17 Agustus tahun 2000, Agnes mengantar anak sulungnya Adi untuk mengikuti lomba Adzan yang telah diadakan panitia di lingkungan rumahnya. Adipun merasa tiba-tiba tertarik untuk mengikuti perlombaan tersebut, walaupun ia masih beragama Katolik dan bersekolah di SMA Santa Maria Bandung.
Martono yang hari itu diajak sang istri Agnes untuk ke tempat perlombaan menolak ajakan tersebut karena harus mengikuti kegiatan di kantornya. Sebelum acara dimulai Psikolog Agnes yang bernama Gangsa Raharjo berpesan kepada Adi untuk mengikuti acara tersebut dengan niat untuk semesta alam.
“Niatkan suara adzan yang nanti kamu kumandangkan bukan hanya ditujukan untuk orang disekitarmu saja yang mendengarnya, namun niatkan untuk semesta alam” ujarnya.
Adipun mengikuti acara tersebut dengan penuh semangat. Iapun kemudian mengumandangkan suara Adzan dengan alunan yang sangat merdu. Hal itu nampaknya membuat Agnes merasa terharu dan merasa bahagia sebagai seorang Ibu.
Tak pelat suara indah Adi kemudian menobatkan adi sebagai juaranya dan berhasil mengalahkan 33 orang peserta yang mengikuti acara tersebut hari itu.
Usai lomba Agnes dan Adi memutuskan untuk segera pulang ke rumah dan memberikan kejutan kemenangan Adi kepada suaminya Martono. Saat baru saja sampai dirumah, dan membuka pintu kamar rumah, Agnes dikagetkan dengan sang suami yang sedang mengerjakan sholat. Melihat suaminya sedang melaksanakan sholat membuat Agnes tak berdaya melihat pemandangan indah ini. Kemudian selesai Martono mengerjakan sholat, Martonopun langsung memeluk istrinya sambil berderai air mata, dan berucap lirih kepada istrinya itu, “Mah sekarang papah sudah kembali memeluk Islam”.
Mengetahui orang tuanya telah memeluk agama islam, anak-anak merekapun, Adi dan icha mengikuti jejak kedua orang tuanya memeluk agama islam. Perjalanan spiritual inipun menjadi perjalanan yang sangat berharga sekaligus terharu untuk pasangan suami istri ini. Martono dan keluargapun akhirnya memulai lembar hidup baru sebagai pemeluk Islam yang taat.
Sumber : muslimahzone.com
Via
Inspiratif
Posting Komentar