Kisah Muslim
Kisah Sahabat Rasulullah
Tentang Islam
Kisah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu
Daftar Isi [Tampilkan]
Kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib (Ilustrasi) | Foto: detik.com/Luthfy Syahban |
Cahaya Islam - Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat sekaligus keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ali memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ia merupakan sepupu dari Rasulullah sekaligus menantu beliau karena Ali menikahi putri Rasulullah, Fathimah. Ayahnya bernama Abu Thalib, seorang putera dari Abdul Muthalib (tokoh terkemuka Quraisy). Ali merupakan golongan orang-orang yang masuk Islam pada periode awal yang disebut dengan Assabiqunal Awwalun dan masuk Islam ketika berusia 10 tahun. Ia memiliki saudara bernama Ja’far, Uqail, dan Thalib dan berasal dari Bani Hasyim. Ia juga merupakan Khalifah kaum muslimin yang keempat menggantikan kepemimpinan Utsman bin Affan.
Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah, 21 tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Yatsrib (Madinah), atau 30 tahun setelah kelahiran Rasulullah. Ia diberi gelar Abu Hasan karena ia mempunyai putra yang bernama Hasan. Ali merupakan orang pertama yang dilahirkan di dekat Ka'bah dan terkenal sebagai sahabat yang cerdas. Sejak kecil, ali telah memperlihatkan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya. Ali tumbuh besar dalam asuhan dan bimbingan langsung dari Nabi. Ali juga selalu menemani dan membela Nabi dalam berdakwah. Ia selalu membela Nabi sebagai prajurit pemberani dalam melawan orang-orang kafir.
Di masa mudanya, Rasulullah mengambil Ali untuk hidup bersamanya dan Abbas mengambil Ja’far untuk hidup bersamanya. Dari sanalah, Ali tinggal bersama Nabi hingga datangnya Risalah Kenabian, dan Ali pun mengakui kenabian Muhammad. Begitu juga dengan Ja’far, hingga mereka masuk Islam di masa awal dakwah Nabi.
Ali juga merupakan sahabat yang pernah mengorbankan hidupnya demi kelancaran dakwah Rasulullah. Ketika Rasulullah Hijrah, beliau menugaskan Ali untuk tidur di ranjang beliau untuk mengelabui orang kafir. Ia juga ditugaskan oleh Rasulullah untuk membawa panji dalam beberapa peperangan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali, ia tidak banyak menyumbangkan prestasi terhadap perkembangan peradaban dunia Islam, karena pada masa pemerintahannya terjadi konflik berkepanjangan yang menyebabkan meletusnya beberapa peperangan saudara dalam Islam
Ali bin Abi Thalib Dan Kekhalifahan
Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai Khalifah kaum muslimin, ia banyak mengangkat para pejabat pemerintahan dari kalangan keluarganya, yaitu dari Bani Umayyah. Sehingga sebagian masyarakat tidak menerima kepemimpinan Utsman. Dari ketidakpatuhan ini, muncul ide untuk menggantikan Khalifah Utsman sehingga terjadi kekacauan dan pemberontakan. Puncak dari pemberontakan ini adalah terbunuhnya Khalifah Utsman di rumahnya ketika sedang membaca Al Qur’an. Khalifah Utsman dibunuh oleh seorang pemberontak bernama Abdullah bin Saba’ pada hari Jum’at tanggal 12 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah.
Setelah terbunuhnya Utsman, para sahabat kemudian bersepakat untuk membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah kaum muslimin. Di awal masa pemerintahannya, Ali kemudian mengganti para pejabat yang telah diangkat Utsman sebelumnya. Diantara para pejabat yang diberhentikan adalah Ya’la bin Umayyah, Abdullah bin Amir Al Hadrami, dan Abu Musa Al Asy’ari. Namun salah satu pejabat Utsman, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur di negeri Syam menolak untuk melepaskan jabatannya sebelum Khalifah Ali menjatuhkan hukuman kepada pembunuh Utsman. Ia juga tidak akan mengakui pemerintahan Ali sebelum tuntutannya terlaksana. Khalifah Ali tidak ingin mengusut kasus pembunuhan Utsman karena kekacauan yang terjadi di kalangan kaum muslimin ketika itu, Khalifah Ali juga memindahkan ibukota dari Kota Madinah ke Kota Kufah.
Konflik antara Ali dan Muawiyah terus berlangsung hingga puncaknya terjadi pada peperangan Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Karena Muawiyah tetap tidak ingin membaiat Ali, maka Ali terpaksa memaksa Muawiyah dengan pasukan. Ali segera menyiapkan pasukannya untuk berangkat ke Negeri Syam, namun sebelum itu ia dihadapkan dengan pemberontakan lain dari Mekkah.
Peperangan Jamal
Pemberontakan terhadap pemerintahan Ali juga datang dari Istri Rasulullah Aisyah yang didukung oleh dua sahabat senior, Thalhah bin Ubaidillah dan Az Zubair bin Awwam. Thalhah dan Zubair juga menuntut balas atas kematian Utsman yang tak kunjung terlaksana. Mereka berdua juga meminta kepada Ali untuk diangkat sebagai gubernur Irak dan Yaman, namun Ali tidak mengabulkan permohonan tersebut. Hal itu menyebabkan Thalhah dan Zubair semakin memberatkan Ali memegang Kekhalifahan. Aisyah binti Abu Bakar yang mengetahui pembaiatan Ali juga tidak setuju akan hal itu, sehingga ia pergi menuju Mekkah dan bergabung dengan Thalhah dan Zubair. Mereka kemudian menyiapkan pasukan dan berangkat ke kota Bashrah.
Ketika Ali mengetahui pasukan Thalhah dan Zubair telah sampai di Bashrah, Ali kemudian membawa pasukannya menuju Bashrah, kedua pasukan tersbeut kemudian bertemu di Khairabah tahun 36 Hijriyah atau 656 Masehi. Ketika itu, Ali masih mengusahakan perdamaian. Namun, sebagian pasukan Ali yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ menyerang pasukan Thalhah dan Zubair sehingga peperangan pun tak terelakkan. Thalhah dan Zubair tewas dalam perang tersebut dan Aisyah dipulangkan kembali ke Mekkah dengan penuh penghormatan. Peperangan tersebut merupakan perang saudara pertama dalam Islam dan disebut dengan Perang Jamal atau perang unta karena ketika itu Aisyah mengendarai unta.
Peperangan Siffin
Setelah itu Ali fokus untuk menumpas pasukan Muawiyah yang berada di negeri Syam. Muawiyah yang merupakan gubernur terpercaya di negeri Syam terutama Kota Damaskus mendapat dukungan yang kuat dari penduduk Damaskus. Pasukan Ali dan pasukan Muawiyah kemudian bertemu di Shiffin pada bulan Muharram tahun 37 Hijriyah. Peperangan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut, yaitu Rabu, Kamis, dan Jumat. Pada peperangan tersebut, pasukan Ali berhasil mendesak dan menjatuhkan pihak Muawiyah. Namun ketika akan mengalami kekalahan, Amru bin Ash yang berada di pihak Muawiyah mengangkat Al Quran sebagai tanda perdamaian.
Ali sebenarnya mengetahui ini hanya tipu daya untuk mengambil pemerintahannya. Pihak Ali dan Muawiyah akhirnya bersepakat untuk berdamai, yang disebut dengan peristiwa Tahkim. Pada perundingan damai tersebut, pihak Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash dan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy’ari. Berdasarkan Ijtihad keduanya, diputuskan bahwa Ali dicopot dari jabatannya sebagai Khalifah dan Muawiyah tetap dalam jabatannya sebagai gubernur Syam, sedangkan perihal siapa yang akan menjadi Khalifah akan dikembalikan kepada umat. Hal ini tentunya sangat merugikan Ali.
Dari keputusan tersebut, terdapat sebagian golongan dari pihak Ali yang tidak menyetujui hasil tahkim tersebut dan memutuskan untuk melepas dukungan mereka terhadap Ali, mereka juga tidak mau mendukung dan bergabung dengan Muawiyah, kelompok inilah yang disebut dengan Kaum Khawarij.
Wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib
Kaum Khawarij yang telah keluar dari barisan pendukung Ali karena tidak setuju dengan hasil tahkim menaruh kebencian terhadap pihak Ali maupun Muawiyah, sehingga mereka memutuskan untuk membunuh Ali dan Muawiyah. Namun Muawiyah bin Abi Sufyan selamat dari upaya pembunuhan tersebut, sedangkan Khalifah Ali berhasil dibunuh oleh mereka. Ali dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam, ia datang ke kota Kufah untuk melancarkan rencana jahatnya terhadap Ali. Ibnu Muljam menebaskan pedang yang telah dibubuhi racun ke hadapan Ali sehingga mengenai sebagian dadanya. Khalifah Ali wafat beberapa hari setelah tragedi itu akibat dari racun pada pedang tersebut. Beliau wafat tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriyah.
Sepeninggal Ali, ia digantikan oleh puteranya Al Hasan yang dibaiat oleh sebagian masyarakat menjadi Khalifah. Namun Hasan hanya memerintah beberapa bulan saja. Karena kedudukan Muawiyah yang masih sangat kuat sebagai penguasa negeri Syam, Al Hasan bin Ali kemudian memutuskan untuk menyerahkan jabatan Khalifah yang diembannya kepada Muawiyah dengan tujuan persatuan umat. Muawiyah lalu memasuki Kota Kufah tanggal 25 Rabiul Awwal tahun 41 Hijriyah dan disambut oleh Al Hasan dan Al Husain. Dengan demikian, resmilah berdirinya Negara Bani Umayyah yang berkuasa selama 90 tahun dengan kekuasaan yang membentang dari Transoxiana (Asia Tengah) hingga Andalusia di Eropa Barat.
Referensi :
Lathif., A. 2019. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
Rashidin, Witro., D, dan Sidqi., I. 2020. Kebijakan Ali bin Abi Thalib Dalam Berijtihad. Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam. 5 (2) : 183.
Rasyid., S. 2015. Kontroversi Seputar Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Jurnal Rihlah. 2 (1) : 13.
Via
Kisah Muslim
Posting Komentar